Rabu, 14 September 2011

Janji, dari Kepercayaan Menuju Kesetiaan

  •     Bila kepercayaan adalah aspek jiwanya,maka janjilah aspek raganya.
  •     Bila kepercayaan adalah ruhnya, maka janji adalah jasadnya.
  •      Bila kepercayaan adalah kekuatan batin, maka janji adalah penopang lahirnya.
  •           Begitulah seterusnya.
                Maka sepenggal janji adalah harga yang mahal untuk sebuah kepercayaan. Sebab janji yang tidak bisa dipercaya, atau janji yang tak ada kepercayaan di dalamnya, ibarat buah yang ranum kulitnya, tapi kopong di dalamnya. Tak ada buahnya yang bisa dimakan.

         Maka Islam mengajarkan moralitas janji, dari dua arah yang sangat dominan. 
Arah pertama bahwa janji harus selalu digantungkan kepada masyiah Allah, kehendak dan izin-Nya. Maka kita diharuskan mengiringi setiap janji, bahkan setiap rencana, dengan mengucapkan “Insya Allah”.
“Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengan menyebut) Insya Allah.’ Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada yang ini.” (QS. Al-Kahfi: 23-34)

          Moralitas janji seperti ini menegaskan kepada kita, bahwa kita tidak akan bisa melakukan apa saja kecuali atas izin Allah. Mengucapkan Insya Allah mengajari kita tentang etika tahu diri seorang manusia yang tak mengerti akan takdir apa esok hari.

           Moralitas kedua dari sisi penuaiannya. Janji-janji itu harus ditepati, dalam kadar ikhtiar manusiawi yang maksimal. Seperti seorang muslim. Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah janji keislamannya. Menunaikan rukun Islam adalah pembuktian kepercayaannya. Tapi kesetiaanlah yang akan memberinya umur bagi pembuktian janji itu. 

          Seperti yang dilakukan seorang sahabat terkenal, Abu Ubaidah Amir Ibnul Jarrah. Semenjak mengulurkan tangannya, berbaiat dan bersumpah setia kepada Rasulullah, ia sadar bahwa hidupnya akan dibaktikan sepenuhnya di jalan Allah. Ia telah mengikrarkan janji itu. Lalu ia membuktikkan bahwa dirinya bisa dipercaya. Ia bekerja dengan tulus.

          Maka, mulailah berjanji dengan benar, janji yang punya ruh kepercayaan, lalu hidup panjang dengan kesetiaan.. sebagai orang beriman.

Allahu a ‘lam bish shawab
                


Tidak ada komentar:

Posting Komentar